Postingan di media sosial yang memuat kutipan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hadi Tjahjanto, tengah menjadi perbincangan hangat. Dalam kutipan tersebut, tertulis “Emang malu mubisa bikin tanah?” yang disusul dengan penjelasan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan dapat diambil alih negara, termasuk tanah warisan.

Kontroversial Menteri ATR Mengenai Tanah Terlantar, Pernyataan ini meski terkesan provokatif, sebenarnya merujuk pada aturan hukum yang telah diundangkan, khususnya dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) yang mengamandemen UU Pokok Agraria. Lantas, apa sebenarnya maksud dari kebijakan ini dan bagaimana implementasinya?
Dasar Hukum dan Latar Belakang Kebijakan
Kebijakan mengenai tanah terlantar (tanah yang dianggurkan) bukanlah hal yang baru. Ia telah diatur dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun, pengaturannya diperkuat dan diperjelas melalui UU Cipta Kerja. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mendorong produktivitas tanah dan mencegah penelantaran aset strategis nasional. Dalam perspektif negara, tanah yang tidak digarap atau dimanfaatkan sama sekali, sementara terdapat jutaan rakyat yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam, dianggap sebagai pemborosan sumber daya. Kontroversial Menteri ATR Mengenai Tanah Terlantar Oleh karena itu, negara, yang memegang hak menguasai atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, merasa berhak mengambil langkah tersebut.
Apakah Tanah Warisan Benar-Benar Bisa Diambil?
Ini adalah poin yang paling banyak menimbulkan kecemasan. Pernyataan “termasuk tanah warisan” dalam kutipan tersebut perlu dipahami dengan tepat. Tidak serta-merta semua tanah warisan yang belum dibangun langsung diambil alih negara. Konsepnya terletak pada “pemanfaatan”. Sebidang tanah warisan, meskipun pemiliknya tidak tinggal di atasnya, tidak serta-merta dikategorikan sebagai tanah terlantar jika masih dapat dibuktikan adanya kegiatan pemanfaatan. Misalnya, tanah tersebut disewakan untuk pertanian, dijadikan kebun produktif, atau terdapat bangunan yang digunakan untuk sesuatu. Kontroversial Menteri ATR Mengenai Tanah Terlantar Yang menjadi sasaran kebijakan ini adalah tanah yang benar-benar diabaikan tidak ada tanda-tanda penguasaan, tidak dirawat, dibiarkan menjadi semak belukar, dan tidak memiliki nilai ekonomi sama sekali bagi pemiliknya atau masyarakat sekitar.
Prosedur Pengambilan Tanah oleh Negara
Pengambilan tanah terlantar oleh negara tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki prosedur yang harus dilalui. Pertama, BPN akan mengidentifikasi dan mendaftar tanah yang diduga terlantar. Pemilik tanah kemudian akan dipanggil dan diberikan surat peringatan untuk memberdayakan tanahnya dalam jangka waktu tertentu. Kontroversial Menteri ATR Mengenai Tanah Terlantar Jika pemilik tidak merespons atau tidak kunjung memanfaatkan tanahnya setelah peringatan, BPN dapat mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan tanah tersebut sebagai tanah terlantar. Setelah SK diterbitkan, hak atas tanah (seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai) dapat dicabut, dan tanahnya kemudian akan dialihkan pengelolaannya kepada pihak lain, misalnya melalui program redistribusi tanah atau perhutanan sosial.
Langkah yang Harus Dilakukan Pemilik Tanah
Masyarakat yang memiliki tanah, terutama tanah warisan yang belum optimal pemanfaatannya, tidak perlu panik tetapi harus mengambil langkah proaktif. Langkah pertama adalah memastikan sertifikat tanah sudah atas nama yang benar dan lengkap. Selanjutnya, pemilik dapat mulai memikirkan pemanfaatan minimal untuk menunjukkan bahwa tanah tersebut “tidak terlantar”. Pemanfaatan ini tidak harus selalu berskala besar. Menanami tanah dengan tanaman keras seperti buah-buahan atau kayu, membangun pagar dan penjagaan sederhana, atau bahkan menyewakannya kepada tetangga untuk berkebun dapat menjadi bukti bahwa tanah tersebut masih dalam penguasaan dan pemanfaatan aktif. Dengan demikian, klaim bahwa tanah tersebut “menganggur” dapat dibantah secara hukum.
Kesimpulan Dari Kontroversi Menuju Kepastian Hukum
Pernyataan Menteri ATR, meski disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan viral, pada hakikatnya adalah pengingat keras akan kewajiban konstitusional dalam memanfaatkan tanah. Kebijakan ini bukan bertujuan untuk merampas hak milik warga negara, melainkan untuk mendisiplinkan dan mengoptimalkan potensi lahan yang terbengkalai bagi kemaslahatan bersama. Kontroversi yang muncul justru menjadi momentum edukasi publik yang baik. Masyarakat didorong untuk lebih melek hukum dan proaktif dalam mengelola aset tanahnya. Pada akhirnya, aturan ini berujung pada keadilan sosial mencegah segelintir orang menimbun tanah sementara yang lain tidak memiliki apa-apa, sekaligus memastikan setiap jengkal tanah negeri ini mampu menghidupi rakyatnya.