Sebuah tragedi menyelimuti dunia pendidikan pesantren di Sidoarjo. Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fithrah di Kecamatan Sukodono, yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk menuntut ilmu, berubah menjadi lokasi duka. Ambruknya sebuah asrama pondok pada hari Sabtu (15 Februari 2025) silam bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang keselamatan dan tanggung jawab.

Kronologi dan Korban Jiwa
Kejadian bermula pada dini hari, ketika para santri sedang terlelap. Tanpa diduga, struktur lantai tiga asrama yang mereka tempati tiba-tiba ambrol, menjatuhkan mereka ke lantai dasar. Suara gemuruh dan teriakan panik memecah kesunyian malam. Tim SAR, polisi, TNI, dan relawan langsung bergerak cepat untuk mengevakuasi korban yang tertimpa reruntuhan.
Data terakhir yang dirilis oleh pihak berwenang mencatat korban jiwa sebanyak 12 santri. Puluhan lainnya mengalami luka-luka dengan berbagai tingkat keparahan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Kebanyakan korban adalah remaja yang sedang menapaki masa depan cerah.
Duka Keluarga dan Respons Cepat Pihak Berwenang
Tragedi ini tentu menjadi pukulan telak bagi keluarga para santri. Jerit tangis dan kepanikan mewarnai lokasi kejadian saat keluarga berusaha mencari informasi tentang anak-anak mereka. Pihak kepolisian dari Polresta Sidoarjo langsung memulai penyelidikan untuk mengusut penyebab pasti ambruknya bangunan. Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali, menyatakan akan memberikan bantuan dan perhatian penuh kepada keluarga korban.
Akar Masalah: Kelayakan dan Keamanan Bangunan
Investigasi sementara mengarah pada beberapa faktor kunci yang diduga menjadi pemicu tragedi:
- Struktur Bangunan yang Tidak Memadai: Diduga bangunan tidak dirancang untuk menampung beban sebanyak itu. Material yang digunakan mungkin tidak memenuhi standar kelayakan dan kekuatan.
- Kepadatan yang Berlebihan: Asrama yang mungkin dirancang untuk menampung puluhan santri, dalam praktiknya justru dihuni oleh ratusan santri. Beban berlebih ini menjadi tekanan konstan pada struktur bangunan.
- Minimnya Perawatan dan Inspeksi: Bangunan pesantren, terutama yang sudah berusia lama, memerlukan inspeksi dan perawatan rutin. Kurangnya perhatian pada retakan, keroposnya struktur, atau tanda-tanda kerusakan lain bisa berakibat fatal.
- Faktor Izin Bangunan: Pertanyaan juga muncul mengenai kelengkapan izin mendirikan bangunan (IMB) dan apakah konstruksi asrama tersebut telah melalui pengawasan dari pihak yang berwenang.
Sebuah Peringatan Keras bagi Semua Pihak
Tragedi di Ponpes Al Fithrah Sidoarjo ini adalah tamparan keras dan pengulangan kisah pilu yang seharusnya bisa dicegah. Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pengelola pesantren semata, tetapi juga menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, kementerian agama, dan seluruh masyarakat.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang mulia, harus menjadikan keselamatan santri sebagai prioritas utama di atas segalanya. Asrama bukan sekadar tempat tidur, tetapi adalah rumah kedua yang harus menjamin keamanan penghuninya.
Belajar dari Musibah: Langkah ke Depan
Untuk mencegah terulangnya tragedi serupa, beberapa langkah konkret perlu segera diambil:
- Audit Gedung Pesantren Secara Nasional: Pemerintah bersama dengan organisasi nahdlatul ulama (NU) dan Muhammadiyah perlu menggalakkan audit menyeluruh terhadap struktur dan keamanan bangunan pesantren di seluruh Indonesia.
- Sosialisasi dan Standarisasi Bangunan Aman: Memberikan pemahaman kepada pengelola pesantren tentang pentingnya standar bangunan yang aman, termasuk penggunaan material yang tepat dan pengaturan kapasitas penghuni.
- Pengawasan dan Pemberian Izin yang Ketat: Pemerintah daerah harus memperketat proses pemberian IMB dan melakukan pengawasan rutin terhadap bangunan-bangunan publik, termasuk pesantren.
- Peran Serta Masyarakat: Masyarakat dan orang tua santri juga memiliki peran untuk kritis dan memastikan bahwa lingkungan tempat anak mereka menuntut ilmu adalah lingkungan yang aman dan layak.
Tragedi ini telah merenggut nyawa-nyawa muda yang penuh harapan. Marilah kita jadikan duka ini sebagai momentum untuk memperbaiki dan membenahi, agar “baitullah kecil”—tempat para santri mencari ridha Ilahi—benar-benar menjadi tempat yang melindungi, bukan mengancam. Selamat jalan, para pejuang ilmu. Doa kami menyertai kalian.